Coretan hati seorang ibu single parent

Saat menuliskan cerita ini, air mata sesekali jatuh mengingat perjalanan hidup yang masih begitu membekas. Sedih bercampur emosi yang tidak bisa dijelaskan dengan goresan komputer ini. Aku yakin dimuka bumi manapun, tidak ada perempuan yang menikah yang ingin gagal dalam pernikahan, apalagi dengan adanya dua anak yang masih butuh kedua orang tua lengkapnya. Namun, takdir tidak bisa ditolak, karena semua sudah digariskan oleh Tuhan.  Sebagai manusia biasa, aku tidak lah sekuat dan setegar yang orang lain lihat diluar sana. Aku hanya bisa mencoba menguatkan diri sendiri bahwa aku bisa melewatinya bersama kedua anak laki-lakiku. Saat aku dan anak-anakku sedang berusaha melewatinya, banyak air mata yang tidak bisa ku timbang dan banyak luka yang telah tertoreh di perjalanan hidup yang tidak mudah ini.  

Setahun setelah perceraian, aku mencoba bangkit meskipun harus tertatih dan memperbanyak rasa sabar menjalani semua meski tidak mudah. Di saat perceraian terjadi, aku masih sedang di Taiwan melanjutkan kuliah S3 dan pada saat itu pandemik masih sangat merajalela di negara Taiwan. Sehingga aku tidak bisa pulang ke Indonesia untuk mengurusi semua, bahkan anak-anak ku pun aku hanya bisa pasrahkan ke mantan suami dan istri barunya serta mempercayakan anakku yang satunya diasuh sementara oleh kakakku. Ditahun pertama itulah ujian kesabaran semakin banyak, selain pengasuhan juga masalah finansial. Aku bahkan terpaksa harus bekerja di kebun sayur dan mengambil part time di kampus demi untuk memenuhi kebutuhan anak-anakku dan juga menabung untuk kebutuhan pada saat saya pulang ke Indonesia. Aku sangat sadar pada saat itu, ujian tidak akan pernah berhenti karena saat itu juga aku juga harus mengihklaskan rumah dan isinya untuk dibagi bersama dengan mantan suami meskipun secara hitung-hitungan harga yang diberikan ke aku masih sangat jauh dari apa yang aku telah berikan selama berumah tangga dengannya. Namun, apalah dayaku sebagai orang yang ditinggalkan hanya bisa mengikhlaskan semuanya, dan aku pada saat itu hanya ingin lepas dari semua urusan yang sangat amat menguras emosi. Ditambah urusan anak-anakku yang diasuh terpisah oleh mantan suami dan kakakku, yang kadang membuat ku hanya ingin terbang pulang ke Indonesia dan memeluk mereka. Namun, disaat Tuhan menguji kesabarnku dengan urusan keluarga, di satu sisi Tuhan memuluskan urusan akademikku, mulai dari lulus ujian kompetensi dengan mudah dan maju ujian proposal dengan cepat dan lancar. Dan akhirnya, di bulan Juli setelah ujian proposal aku akhirnya bisa pulang ke Indonesia dan berkumpul kembali dengan anak-anakku sembari melakukan penelitian untuk disertasiku. 

Saat pulang ke Indonesia, dan bertemu dengan anak-anakku setelah hampir 2 tahun berpisah, aku hanya bisa menangis dan bersukur  masih bisa bertemu mereka dalam keadaan sehat meskipun situasinya sudah berbeda. aku yang sebelum berangkat ke Taiwan, masih berstatus istri namun setelah kembali status itu sudah berubah menjadi single parent. Aku yang sebelum berangkat ke Taiwan masih memiliki semuanya, namun setelah kembali ke Indonesia aku tak punya apa-apa, bahkan rumahpun aku tak punya, sehingga aku harus luntang lantung numpang dirumah kakak-kakakku. Selama itu pula Tuhan sepertinya tidak ingin aku menjadi orang yang sombong sehingga banyak cobaan-cobaan kesabaran yang kembali harus ku lalui. Disaat cobaan-cobaan lain datang, disaat itu juga aku mulai paham siapa yang benar-benar real dan peduli dengan keadaanku dan siapa yang hanya sekedar formalitas. melalui cobaan- cobaan kesabaran itulah aku banyak belajar menerima keadaan  dan meyakinkan diri bahwa aku yang dipilih Tuhan untuk melewati semua ini, yang aku yakin tidak semua orang bisa melewatinya.  Namun sebagai manusia biasa,  aku masih kadang sangat rapuh dalam proses belajar itu. Sehingga, tanpa sadar aku kadang mengeluh di sepertiga malam kepada Tuhan atas cobaan yang tidak pernah hilang, menangis sejadi-jadinya hingga kadang aku merasa sudah mati karena merasa beban ini terlalu berat untuk ku pikul. Bahkan, aku merasa Tuhan sangat kejam denganku, dengan mengambil hampir semua yang ku miliki di masa lalu. Namun, saat kesadaranku pulih kembali, aku merasa sangat berdosa telah mengkufuri semua nikmat yang Tuhan berikan. Dan akhirnya, aku kembali mengafirmasi diriku kembali dengan cara berserah diri menerima bahwa dengan cara inilah Tuhan mengajariku untuk kuat dan sabar sebagai seorang perempuan single parent utamanya kuat dan sabar untuk kedua anakku yang masih sangat membutuhkanku.


Komentar